Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Add Starynovel to the desktop to enjoy best novels.
Dear Reader, we use the permissions associated with cookies to keep our website running smoothly and to provide you with personalized content that better meets your needs and ensure the best reading experience. At any time, you can change your permissions for the cookie settings below.
If you would like to learn more about our Cookie, you can click on Privacy Policy.
Your cookies settings
Strictly cookie settingsAlways Active
Cintaku Berakhir di London
READING AGE 18+
horas polas
Romance
ABSTRACT
CINTAKU BERAKHIR DI LONDON(Novel – Romansa – Original)---
BAB 1 — ST. PANCRAS, HUJAN, DAN SEBUAH PAYUNGHujan pertama di London menyambutku seperti seseorang yang tidak terlalu ingin bertemu. Langit kelabu, gerimis seperti benang-benang air tipis yang menusuk wajah. Aku berdiri di tengah kerumunan St. Pancras International, menggenggam tiket perjalanan yang sudah basah di tepiannya. Koperku? Hilang entah ke mana."Great," gumamku dalam bahasa Inggris seadanya, meski sebenarnya ingin mengumpat dalam bahasa Indonesia.Aku baru saja menempuh perjalanan dua belas jam dari Jakarta dan berharap bisa sampai di tempat tinggal baruku tanpa drama. Tapi kenyataan kadang punya selera humor yang buruk."Excuse me," suara seorang pria muncul dari sebelah kanan. "You look lost."Aku mendongak. Seorang pria berjaket wol abu-abu berdiri di depanku, payung hitam di tangan. Rambutnya cokelat gelap, sedikit berantakan karena angin. Matanya biru—jenis biru yang bukan dingin, tapi hangat. Yang membuatmu merasa dilihat, bukan sekadar dipandang."I’m not lost," jawabku spontan. "Just… my suitcase is."Dia tersenyum tipis. "Well, that counts as lost."Aku ingin membalas dengan ketus, tapi senyumnya menghentikanku. Ada sesuatu yang lembut dalam caranya berbicara, seperti ia sudah terbiasa menenangkan orang lain."Let me help," katanya lagi. "It doesn’t seem like anyone from the station is noticing.""Aku…" aku ragu, bahasa Inggrisku mulai kacau karena gugup. "I mean—sure."Kami menuju meja informasi. Pria itu—dia memperkenalkan diri sebagai Elliot—berbicara dengan petugas dengan cepat dan jelas. Aku hanya berdiri di sampingnya, merasa seperti anak kecil yang butuh bantuan orang dewasa.Setelah beberapa menit, petugas memberi kabar: koperku ditemukan, tersesat satu gerbang dari tempat seharusnya."Lucky," komentar Elliot sambil menoleh kepadaku.Lucky. Jika dia tidak lewat, mungkin aku masih memelototi papan informasi sampai malam.Hujan semakin deras ketika kami keluar dari stasiun. Elliot membuka payung tanpa banyak kata, lalu memiringkannya ke arahku."Here," katanya. "You’ll catch a cold.""A-aku bisa pakai hood-ku," sangkalku pelan.Ia terkekeh. "That hood is soaked."Dan benar saja—jaketku sudah basah setengah.Kami berjalan di bawah payung itu selama beberapa menit. Tidak banyak bicara. Tapi anehnya, keheningan itu tidak menegangkan. Aku hanya mendengar bunyi langkah orang berlalu, suara roda koper diseret di trotoar, dan rintik hujan yang menabrak kanvas payung.Saat kami akan berpisah, ia menatapku sedikit lebih lama."Welcome to London," katanya.Senyumnya samar, seperti garis tipis sebelum senja menghilang.Dan begitu saja, dia pergi.Aku berdiri dengan koperku dan payung hitam yang dia tinggalkan tanpa bicara apa-apa lagi. Aku bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih.Hanya satu hal yang kupikirkan saat itu:Aku tidak akan bertemu dia lagi.Aku salah.
BAB 2 — NOTTING HILL DAN PERTEMUAN KEDUANotting Hill lebih sunyi daripada yang kubayangkan dari film-film. Rumah-rumah pastel berjajar dengan rapi, bunga-bunga menggantung dari pot besi, dan jalan kecil yang membuatku harus menahan napas tiap kali mobil lewat.Mrs. Fletcher—pemilik rumah tempat aku menyewa kamar—adalah wanita tua berambut perak yang terlalu senang bercerita."You're from Indonesia? Lovely place, I visited once in… oh dear, maybe thirty years ago."Aku hanya tersenyum, membawa koper ke kamar yang sempit tapi hangat.Aku turun sore itu untuk mencari makan ketika seseorang keluar dari pintu sebelah rumah. Aku hampir menjatuhkan plastik belanjaanku ketika melihatnya.Elliot.Ia berhenti sesaat, alisnya terangkat. "You?""You?" balasku spontan.Ia tertawa kecil. "So we’re neighbors.""Seems like it," jawabku malu.Aku tidak pernah percaya pada kebetulan—tapi dua pertemuan beruntun di kota sebesar London? Rasanya seperti naskah yang ditulis seseorang.Elliot menawarkan menunjukkan jalan. Aku menerima, karena alasan yang bahkan tidak ingin kuakui.Kami berjalan menuju Portobello Road Market. Lampu-lampu toko mulai menyala, aroma roti panggang dan kopi memenuhi udara."Why London?" Elliot bertanya sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jaket."Beasiswa," jawabku singkat.Hanya itu yang kuberikan. Aku belum mau bercerita tentang kenyataan bahwa aku sebenarnya kabur dari tunanganku yang terlalu mengekang. Elliot tidak menuntut lebih. Ia hanya mengangguk, menerima jawabanku apa adanya.Percakapan kami mengalir perlahan, seperti hujan gerimis minggu lalu—tidak deras tapi konsisten.Ketika kami pulang, ia berhenti di depan pintu rumahnya."Good night, Aruna."Suara itu membuat nama yang sangat Indonesia terdengar indah dalam aksen Inggrisnya."Good night, Elliot."Aku masuk ke kamar dengan senyum yang tidak bisa kutahan.---