Anak ke-13 bukan buku tentang ketabahan. Ini cerita tentang luka yang diturunkan sebelum aku sempat memilih. Tentang jadi anak yang nggak pernah benar-benar diminta hadir, tapi harus bertahan hidup di rumah yang semua orang bilang “beruntung” — padahal isinya cuma dingin, bentakan, dan sisa-sisa kemarahan orang tua yang nggak selesai.Dari luar, hidupku kelihatan rapi. Ada mobil, ada rumah besar, ada nanny dua. Tapi dari dalam, aku tumbuh dengan perasaan nggak pernah cukup. Nggak cukup buat bikin ayahku berhenti selingkuh. Nggak cukup buat bikin ibuku berhenti mukul saat dia pusing. Dan sejak kecil, aku belajar satu hal: diam lebih aman.Ini cerita tentang jadi anak ke-13. Tentang jadi saksi pernikahan yang retak, cinta yang sakit, dan tubuh kecil yang dipaksa kuat sebelum waktunya. Tapi juga tentang nyari jalanku sendiri keluar dari semua itu — pelan-pelan, satu napas satu langkah.